Dalam buku ajar ini dijelaskan bahwa jual beli boleh dilakukan dengan perbuatan (mu’athat). Sebagaimana dalam gambar berikut:
Bagaimana menurut kitab fiqih mu’tabar?
Jual beli mu’athat adalah jual beli tanpa ijab qabul antara kedua belah pihak. Imam Nawawi memberi contoh sebagaimana berikut:
فرع: صورة المعاطاة التي فيها الخلاف السابق: أن يعطيه درهماً أو غيره ويأخذ منه شيئاً في مقابلته، ولا يوجد لفظ أو يوجد لفظ من أحدهما دون الآخر
Artinya: “Contoh dari jual beli secara mu’athoh yang terjadi perbedaan pendapat di atas ialah: semisal jika orang itu memberikan uang dan ia mengambil barang sedagai gantinya. Dan tidak ada kalimat yang menayatkan ijab qabul.” (Imam Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzab, halaman 163-164).
Penjelasan dalam buku ajar ini tidak sesuai dengan qaul mu’tamad dari Madzhab Syafi’i yang menyatakan bahwa jual beli dengan sistem mu’athat itu tidak sah. Karena transaksi jual beli yang dilakukan dengan cara mu’athat tidak cukup memberi gambaran kerelaan
Dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatihu disebutkan:
وقال الشافعية: يشترط أن يقع العقد بالألفاظ الصريحة أو الكنائية، بالإيجاب والقبول، فلا يصح بيع المعاطاة، سواء أكان المبيع نفيساً أم حقيراً؛ لأن الرسول عليه الصلاة والسلام قال: «إنما البيع عن تراض» والرضا أمر خفي، فاعتبر ما يدل عليه من اللفظ
Artinya: “Syafi’i berkata: Akad disyaratkan dengan kata-kata yang jelas atau kiasan dengan ijab dan qabul, sehingga tidak sah menjual barang dengan cara mu’athat, baik barang yang dijual itu berharga atau tidak tidak. Karena Rasulullah Saw bersabda: “Penjualan itu berdasarkan kerelaan bersama,” dan kerelaan itu merupakan hal yang tersembunyi, maka yang menjadi barometer adalah sesuatu yang ditunjukkan dalam kata-kata.” (Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatihu, [Suriah: Dar al-Fikr, 1965], juz IV, halaman 101).
Dalam kitab Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwitiyah ditegaskan:
فَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ فِي الْمُعْتَمَدِ إِلَى أَنَّ الرَّهْنَ لاَ يَنْعَقِدُ إِلاَّ بِإِيجَابِ وَقَبُول قَوْلِيَّيْنِ كَالْبَيْعِ.
Artinya: “Syafi’iyah dalam qaul mu’tamad berpendapat bahwa rahn itu tidak sah kecuali ijab qabul seperti jual beli.” (Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwitiyah, juz 23, halaman 177).
Dengan demikian, praktik transaksi yang merujuk pada buku pelajaran ini dinyatakan tidak sesuai dengan pendapat yang kuat, sehingga dikategorikan amaliyah yang lemah versi madzhab Syafi’i. Meskipun ada pendapat yang menyatakan boleh jual beli dengan mu’athat, namun itu untuk sesuatu yang menurut tradisi dianggap jual beli, sebagaimana pendapat berikut:
واختار المصنف وجماعة منهم المتولي والبغوي الانعقاد له في كل ما يعده الناس بيعا لأنه لم يثبت اشتراط لفظ فيرجع للعرف كسائر الألفاظ المطلقة
Artinya: “Al-Nawawi dan sekelompok ulama, antara lain Al-Mutawali dan Al-Baghawi memilih pendapat untuk akad mu’athat dalam segala sesuatu yang dianggap jual beli oleh masyarakat, karena tidak ditetapkan syarat kata, maka dikembalikan pada kebiasaan seperti semua kata mutlak lainnya.” (Imam Nawawi, Mughni Al-Muhtaj, [Lebanon: Dar al-Ma’rifah, 1997], juz 2, halaman 7).
Bahkan kebolehan jual beli dengan mu’athat itu hanya khusus sesuatu yang nilainya remeh, bukan yang bernilai tinggi, sebagaimana pendapat Ibnu Surayj dan Al-Ruwayani:
وبعض الشافعية كابن سريج والروياني خصص جواز بيع المعاطاة بالمحقرات وهي ما جرت العادة فيها بالمعاطاة كرطل خبز
Artinya: “Sebagian Syafi’iyah seperti Ibnu Surayj dan Al-Ruwayani mengkhususkan jual beli mu’athat dengan barang remeh, yaitu sesuatu yang menurut tradisi dijualbelikan dengan mu’athat, seperti satu rithal roti.” (Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatihu, halaman 101).